Jumat, 24 Desember 2010

si Mbojo Bukti Kebesaran Bima

Traveling and Leisure | Tue, Nov 10, 2009 at 01:24 | Jakarta, matanews.com
museum asi mbojo
Museum Asi Mbojo/ist.file
Tiba-tiba saja kota Bima menjadi pemberitaan media massa, setelah gempa bumi berkekuatan 6,7 skala richter (SR) mengguncang Kota yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Senin dinihari pukul 03.41 WITA. Peristiwa ini, membuat jutaan masyarakat Indonesia dan dunia tertuju ke kabupaten yang terkenal dengan susu kuda liarnya itu.
Bagi anda yang kebetulan berminat melakukan perjalanan ke Bima, selain untuk melihat dari dekat dampak dari peristiwa alam tersebut, sekaligus bisa memuaskan mata dengan mengunjungi beberapa tempat yang kerap dikunjungi wisatawan.
Salah satu tempat yang harus dihampiri dan wajib dikunjungi adalah, Museum Asi Mbojo, karena ditempat inilah bisa didapat sejarah kebesaran kerajaan Bima dimasa lampau. Jadi, bagi anda yang suka berpetualang, jika hendak berkunjung ke Bima, jangan lupa untuk mampir ke istana yang kini jadi museum ini.
Luas, kokoh dan kuno. Itulah kesan yang tertangkap dari gedung Museum Asi Mbojo yang terletak di jantung Kota Bima. Bangunan tersebut dahulu merupakan istana kasultanan Bima, kini berfungsi sebagai museum.
Museum Asi Mbojo bukan hanya saksi sejarah Bima, lebih dari itu ia menyimpan cerita panjang temali benang merah peradaban masyarakat Bima dari masa kesultanan Bima hingga kini. Arsitektur bangunan Museum Asi Mbojo merupakan perpaduan khas Bima dan Belanda. Bangunan kokoh dan menjulang itu terdiri dua lantai dan menempati areal tidak kurang dari lima are.
Asi Mbojo berarti Istana Bima. Istana itu dibangun pada 1927 dan resmi menjadi istana kasultanan Bima pada 1929. Bangunan istana diapit oleh dua pintu gerbang di sisi barat dan timur. Tata letak Asi Mbojo tidak jauh berbeda dengan istana lain di Tanah Air. Istana menghadap ke barat dan di depannya terdapat tanah lapang atau alun-alun bernama Serasuba.
Di tempat itulah konon raja tampil secara terbuka di depan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya saat diselenggarakan upacara-upacara penting atau perayaan hari besar keagamaan. Serasuba juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan.
Di sebelah alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan. Istana, alun-alun dan masjid yang merupakan konsepsi filosofi pemerintah, rakyat dan agama merupakan satu kesatuan yang utuh.
Petugas museum, Astuti menjelaskan, bersamaan dengan berakhirnya masa kesultanan pada 1952, maka berakhirlah peranan Asi Mbojo sebagai pusat pemerintahan, pusat pengembangan seni dan budaya, pusat penyiaran Islam dan pusat pengadilan adat.
Museum Asi Mbojo menyimpan barang-barang peninggalan raja-raja dan sultan-sultan Bima. Di kedua pintu gerbang tidak ada lagi anggota pasukan pengawal kesultanan. Alun-alun Serasuba telah beralih fungsi menjadi lapangan sepakbola.
Memasuki bagian gedung Museum Asi Mbojo, di lantai satu di bagian kanan, langsung tersaji koleksi akaian adat untuk perkawinan kalangan bangsawan dan masyarakat jelata berikut pelaminannya.
Di sisi lainnya, ada sejumlah almari yang menyimpan koleksi alat pertanian, alat berburu, alat transportasi, alat yang digunakan dalam bidang perikanan, peralatan memasak, peralatan makan dan lain sebagainya. “Alat-alat tradisional ini merupakan alat-alat yang digunakan masyarakat Bima pada masa lalu,” kata petugas museum, Astuti, ketika mendampingi berkeliling museum.
Koleksi lainnya diantaranya berupa pakaian adat Bima, pakaian untuk kesenian tari, kitab-kitab koleksi Sultan, senjata api jaman Portugis dan Belanda serta koleksi lainnya.
Di bagian kiri terdapat ruangan untuk menyimpan koleksi senjata seperti keris, trisula dan perlengkapan perang lainnya. Tidak kurang dari 100 koleksi di ruang itu. Koleksi-koleksi di tempat tersebut semuanya terbuat dari emas dan perak.
Setelah naik tangga di bagian tengah ruangan, di lantai dua terdapat sejumlah kamar atau ruang tidur keluarga Sultan. Diantara kamar-kamar tersebut ada satu kamar yang dulu pernah digunakan untuk menginap Presiden RI I, Soekarno, ketika berkunjung ke Bima. Presiden Soekarno berkunjung ke kasultanan Bima pada 1945 dan 1951.
Astuti mengatakan, koleksi-koleksi yang ada di Museum Asi Mbojo itu hanya sebagian dari koleksi kasultanan Bima. Sebagian koleksi lainnya disimpan keluarga Sultan.
Kesultanan Bima adalah kerajaan yang terletak di Bima. Penduduk daerah ini dahulunya beragama Hindu (Syiwa). Menurut catatan lama Istana Bima, pada masa pemerintahan raja yang bergelar “Ruma Ta Ma Bata Wadu”, menikah dengan adik dari isteri Sultan Makassar Alauddin bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kassuarang.
Ia menerima agama Islam pada tahun 1050 H atau 1640 M. Raja atau Sangaji Bima tersebut digelari dengan “Sultan” yakni Sultan Bima I (Sultan Abdul Kahir). Setelah Sultan Bima I mangkat dan digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Abdul Khair Sirajuddin sebagai Sultan II, maka sistem pemerintahannya berubah dengan berdasarkan “Hadat dan Hukum Islam”.
Sementara itu, Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- XII sebagai Sultan Bima terakhir.
Butuh Waktu
Berkunjung ke Museum Asi Mbojo memang merupakan agenda yang menarik, namun untuk menjangkaunya dari Mataram, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), butuh waktu cukup lama. Apalagi musim kemarau membuat udara kurang bersahabat. Panas terik dan kering kerontang mewarnai udara serta area pertanian di daerah tersebut. Hujan juga jarang turun.
Perjalanan darat dari penyeberangan Poto Tano di Kabupaten Sumbawa menyusuri perbukitan hingga Dompu sampai Bima, yang terlihat hanya perbukitan dengan pepohonan meranggas, sementara rerumputan di padang penggembalaan mengering.
Sepertinya tidak ada pemandangan yang menarik sepanjang perjalanan selama musim panas di Pulau Sumbawa, kecuali hamparan pantai dengan air membiru yang masih menyisakan kesan keteduhan.
Bima adalah salah satu kota di Pulau Sumbawa yang merupakan bagian dari Provinsi NTB. Untuk menjangkau kota ini dari Mataram dapat ditempuh melalui jalur darat atau jalur udara. Jika ditempuh melalui perjalanan darat, dari Mataram harus melakukan perjalanan darat lebih dulu ke pelabuhan penyeberangan Kayangan di Kabupaten Lombok Timur. Waktu tempuh antara Kota Mataram-Lombok Timur berkisar 1,5 -2 jam.
Perjalanan masih harus dilanjutkan dengan menyeberang ke Poto Tano di Kabupaten Sumbawa dengan waktu tempuh antara 1,5 – 2 jam. Setelah tiba di pelabuhan penyeberangan di Pulau Sumbawa itu, perjalanan ke Bima masih harus menempuh jarak sekitar 350 kilometer lagi.
Meski jalannya beraspal, tapi untuk menempuh jarak sejauh itu perlu konsentrasi tinggi, sebab jalan yang ditempuh berkelok-kelok, naik turun menyusuri bukit dan jurang di sisi jalan yang curam.
Namun, jika ingin perjalanan lebih singkat, dari Bandara Selaparang di Mataram, bisa langsung naik pesawat menuju jurusan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin di Bima. Waktu tempuh sekitar 30 menit. Harga tiket pesawat Mataram-Bima cukup terjangkau karena selama ini masih disubsidi oleh pemerintah daerah setempat.
Jika ditempuh melalui perjalanan darat, beberapa kilometer sebelum memasuki kota Bima, tepatnya memasuki wilayah Kecamatan Bolo, di sepanjang kiri jalan mulai terlihat hamparan tambak garam. Ratusan bahkan mungkin ribuan hektar tambak garam terpetak-petak.
Para petani sedang memanen garam setelah air laut yang dialirkan ke petak-petak tambak, mulai menghasilkan kristal putih yakni garam. Sebagian lainnya memasukkannya ke karung. Harga per karung (60 kilogram) sebesar Rp60 ribu.
Beberapa saat setelah itu mulai terlihat panorama Pantai Lawata. Pantai dengan panjang sekitar setengah kilometer itu pada hari libur banyak dikunjungi masyarakat. Karena letaknya sebelum masuk kota, maka Pantai Lawata oleh sebagian orang dijuluki juga sebagai pantai selamat datang.
Meski untuk menjangkau Museum Asi Mbojo butuh waktu panjang, tapi sesampainya di lokasi bangunan kuno itu rasa lelah akan terlunasi dengan segudang cerita sejarah Bima yang sangat melegenda.(*an/shp/z)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar